Kamis, 20 September 2018

kondisi pada masa demokrasi terpimpin

Dalam hal ini, untuk membahas dan menjelaskan kondisi perekonomian masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin kami membagi menjadi dua bagian. Bagian pertama kami merasa perlu terlebih dahulu mengetahui dan memahami pemikiran-pemikiran Soekarno mengenai ekonomi pada masa itu. Karena dari pemikiran-pemikiran Soekarno inilah yang nantinya akan sangat mempengaruhi hal-hal yang akan dibahas pada bagian kedua seperti landasan ekonomi dan langkah-langkah pelaksanaan sistem ekonomi beserta kebijakan perekonomian masa Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, pada bagian kedua kami akan menguraikan sistem ekonomi beserta implementasi kebijakan ekonomi tersebut.

1. Pemikiran-pemikiran Soekarno
Membahas kondisi perekonomian masa Demokrasi Terpimpin, perlu terlebih dahulu melihat pemikiran-pemikiran ekonomi yang berkembang pada masa itu. Ini dikarenakan pemikiran ekonomi para tokoh secara otomatis akan sangat mempengaruhi konsep serta implementasi kebijakan ekonomi yang nantinya di diambil dan dijalankan pada masa tersebut. Dalam kesempatan kali ini kami akan mengkaji kondisi ekonomi pada masa demokrasi terpimpin, menurut pemikiran yang berkembang dari tokoh terkait yaitu Presiden Soekarno. Mengapa Soekarno ? karena sebagai ‘pemimpin demokrasi’, Soekarno telah menjadi tokoh yang paling berpengaruh pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Pemikiran-pemikiran Soekarno mengenai ekonomi pada masa itu, tertuang dalam teks pidato-pidatonya yang kami rangkum dan akan kami uraikan sebagai berikut :

 Dalam pidato yang berjudul “kembali ke Rel Revolusi” (1959).
Soekarno menyatakan bahwa tujuan jangka pendek yang ingin ditempuh pada masa Demokrasi Terpimpin ialah: program Kabinet Kerja yang dinilai amat sederhana, meliputi fokus pada sandang-pangan, dan keamanan, kemudian ditopang dengan melanjutkan perjuangan anti imperialisme, ditambah dengan mempertahankan kepribadian bangsa di tengah-tengah tarikan-menarik ke kanan dan ke kiri, (antara hagemoni sosialis-liberalis) yang sedang berjalan dalam pergolakan dunia menuju kepada satu kekuatan baru.
Dan tujuan jangka panjang, ialah: menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, melenyapkan imperialisme di mana-mana, dan mencapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia yang kekal dan abadi. Maka untuk menanggulangi segala masalah-masalah berhubungan dengan tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang tersebut, Soekarno menyatakan kita tidak dapat mempergunakan sistem yang sudah-sudah dan alat-alat (tools) yang sudah-sudah. Sistem liberalisme harus dibuang jauh-jauh, demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin harus ditempatkan sebagai gantinya. Susunan peralatan yang dulu ternyata tak efisien, harus dibongkar, dan diganti dengan susunan peralatan yang baru. Ordening baru dan herordening baru harus diadakan, agar demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin dapat berjalan. Menurut pemikiran Soekarno, inilah yang disebut retooling for the future. Dalam hal retooling di bidang ekonomi, perlu diadakan retooling alat-alat produksi dan alat-alat distribusi.
Alat-alat produksi dan alat-alat distribusi semuanya harus di-retool dan semuanya harus direoganisasi, harus berpedoman ke arah pelaksanaan Pasal 33 Undang-undang 1945 dengan mempergunakan relnya demokrasi terpimpin. Selama kita mempunyai beberapa badan yang diserahi oleh negara untuk mengurus dan mengembangkan beberapa bidang produksi dan distribusi, tetapi bukan produksi dan distribusi itu menjadi teratur-beres dan berkembang, tetapi badan-badan itu menjadi sarangnya orang-orang yang mamadet-madet kan isi kantungnya sendiri, orang-orang yang menjadi kaya-raya, orang yang menjadi milyuner!
Daar moet een eind aan komen! Soekarno berpendapat keadaan yang demikian itu harus diubah! Dan bukan saja badan-badan itu harus di-retool, tetapi juga semua alat-alat vital dalam produksi dan semua alat-alat vital dalam distribusi harus dikuasai atau sedikitnya diawasi oleh pemerintah. Tidak boleh lagi terjadi, alat-alat vital tidak dikuasai atau tidak diawasi Pemerintah, yang menyebabkan beberapa gelintir spekulan atau beberapa gelintir profiteur dapat mengguncangkan seluruh ekonomi nasional, dan mengkucar-kacirkan seluruh kebutuhan Rakyat.
Disini terlihat jelas Soekarno menginginkan Demokrasi Terpimpinnya di iringi dengan semangat perjuangan revolusi yang anti imperialisme dan disertai retooling alat produksi dan alat distribusi agar pemerintah leluasa untuk menguasai dan mengawasi seluruh alat-alat vital milik Negara demi perekonomian nasional yang stabil.

 Dalam pidato yang berjudul “Bangsa yang Dihormati dan Dikagumi” (1962).
Soekarno menyatakan, dengan selesainya soal keamanan, dan dengan selesainya soal Irian Barat, maka modal pemerintah untuk memecahkan ekonomi akan sangat bertambah. Dulu pernah Soekarno mengatakan, bahwa untuk menyelesaikan tugas keamanan saja, 50 persen dari seluruh kegiatan nasional dicurahkan kepada itu, dan kemudian, ditambah dengan tugas TRIKORA, jumlah ini menjadi lebih besar lagi! Hampir-hampir tiga peremat dari kegiatan nasional negara, digunakan untuk menyelesaikan keamanan dan menjalankan Trikora itu. Jelasnya lebih dari 70 persen dari Kegiatan Nasional negara, ditumplekkan ke arah itu! Lebih dari 70 persen!. Soekarno mencoba meyakinkan, bahwa inilah salah satu penyebab terbesar yang membawa kesulitan dalam kehidupan ekonomi. Dalam hal ini Soekarno memberi penjelasan sekaligus meminta pengertian dari para hadirin pada saat itu, bahwa dengan ditumplekkannya lebih daripada 70 persen Kegiatan Nasional itu, menyebabkan program “Sandang-Pangan” belum sama sekali terlaksana dengan cara yang memuaskan.
Menurut Soekarno, duduk perkaranya, keamanan dan Irian Barat tidak bisa tunggu satu hari lebih lama lagi, sedangkan soal Sandang Pangan bisa kita pecahkan sambil berjalan, dan kedepannya akan lebih mudah, karena modal yang tadinya kita pergunakan untuk memulihkan keamanan dan mengembalikan Irian Barat itu, dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi. Kecuali daripada itu, keadaan Sandang-Pangan toh masih boleh dikatakan lumayan, mengingat bahwa kita melemparkan hampir tiga perempat dari Kegiatan Nasional ke arah Keamanan dan Irian Barat itu?, mengingat bahwa kita ini setengah-setengah dalam keadaan perang?, mengingat bahwa pembangunan-pembangunan vital yang menelan ongkos milyar-milyar berjalan terus?, mengingat bahwa kita tahun yang lalu dihamuk oleh kemarau yang maha hebat, ditambah dengan hama baru yang bernama ganjur? Adakah orang Indonesia yang mati kelaparan? Adakah orang Indonesia yang telanjang tidak berpakaian?.
Menurut kami, disini secara tersirat Soekarno berpandangan untuk lebih memilih mendahulukan proses politik daripada proses ekonomi.

 Dalam pidato yang berjudul “Revolusi Berjalan Terus” (1965).
Dengan semangat yang menggelora Soekarno berbicara dihadapan hadirin yang ada. Bagaimana mengukur suatu revolusi dengan ukuran-ukuran revolusi? Segala-sesuatu hendaknya diamati: untuk kesejahteraan umum, ya atau tidak? Pro bono publico, inilah semboyan kita, artinya pro bono publico, untuk kesejahteraan umum! Sekalipun ada yang secara pribadi dirugikan, sekalipun ada yang laba perusahaannya berkurang, tapi asal pro bono publico, maka ia harus diterima. Sebaliknya, walaupun ada yang ditambah mobil, tambah bungalow, tambah koelkast, tambah air conditioner, walaupun ada yang menyekolahkan anaknya ke Eropa atau ke jabalkat sekalipun, tapi tidak pro bono publico, maka ia harus ditolak. Kecuali – kecuali, kataku – jika orang sudah menjadi orang asing di tanah air sendiri, atau sudah menjadi orang pribumi di negeri asing! Ya, kecuali jika orang sudah cidera, sudah durhaka, sudah khianat terhadap urusan revolusi!.
Selanjutnya, Soekarno berargumen kita perlu melihat kepada kaum buruh dan kaum tani, karena mereka dapat dianggap sebagai sokoguru-sokoguru revolusi kita. Mereka memang pantas, pantas, tepat disebut sokoguru revolusi. Mereka bekerja, mereka menghasilkan, mereka berproduksi, tanpa mengeluh dan tanpa banyak cincong. Mereka mempunyai tuntutan-tuntutan mereka – sudah barang tentu – tetapi tuntutan-tuntutan itu biasanya masuk akal. Kalau kaum buruh ingin supaya upahnya bisa naik sedikit untuk pembeli buku sekolah untuk anaknya, apakah itu tidak masuk akal? Kalau kaum tani menghasratkan tanah, tanah “senyari bumi”, apakah itu tidak masuk akal? Soekarno teringat kepada seniman-seniman ludruk Marhaen yang mengatakan “Ia kalau punya pacul tapi ndak punya tanah, ke mana pacul itu mesti dipaculkan!” Tetapi ada di antara kita yang ndoro-ndoroan, yang main tuan besar, yang mengira dirinya eigenaar revolusi, mengira dirinya “presdir” republik, lalu maunya bukan dia berkurban buat republik, tapi republik berkurban buat dirinya!... orang-orang semacam ini, Pervenuparvenu, charlatan-charlatan, profitor-profitor macam ini ada baiknya kita promovir menjadi penghuni bui Nusakambangan.
Soekarno selalu mengatakan bahwa perjuangan kelas harus ditundukkan kepada perjuangan nasional. Dan Soekarno merasa gembira bahwa jeritannya itu dipahami oleh sebagian besar rakyat. Di sisi lain, Soekarno juga memperingatkan, kalau koruptor-koruptor dan pencoleng-pencoleng kekayaan negara meneruskan “operasi” mereka yang sesungguhnya antirepublik dan antirakyat itu, maka jangan kaget jika pada satu waktu perjuangan antargolongan berkobar dan membakari kemewahan hidup kaum koruptor dan pencoleng itu.

Sekadar tambahan :
Menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku Pemikiran politik Indonesia 1945-1965, dijelaskan bahwa dengan keberhasilan pemerintahan Presiden Sukarno membebaskan Irian Barat pada bulan Agustus 1962, maka timbulah tekanan dari berbagai kelompok, di luar maupun di dalam negeri, agar pemerintah memusatkan perhatiannya pada masalah ekonomi yang sudah menjadi demikian peliknya. Akan tetapi kebijakan ekonomi yang mana yang akan dipilih? Pemilihan kebijakan inilah yang membawa pemerintah pada semacam persimpangan jalan. Pada bulan Mei 1963 Menteri Pertama, Djuanda, mengeluarkan serangkaian peraturan untuk mengurangi subsidi dan memangkas pengeluaran pemerintah. Ini perlu dilihat dalam konteks terjadinya perundingan International Monetary Fund (IMF) dan beberapa negara Barat yang menjanjikan memberikan pinjaman pada Indonesia apabila pemerintah mengambil langkah-langkah reformasi yang mereka anjurkan. Dikeluarkannya peraturan-peraturan Djuanda itu memadai bahwa para pendukung kebijakan ekonomi yang berhaluan kanan dan pro-Barat mendapat angin. Namun tantangan terhadap peraturan Mei itu pun sangat gencar, dan Presiden Sukarno sendiri tidak pernah merestuinya secara penuh.
Dalam waktu empat bulan sesudahnya, konflik kanan-kiri menjadi panas sekali. Pertentangan mengenai peraturan Mei ini jalin menjalin dengan perbedaan sikap mengenai bagaiamana Indonesia harus menanggapi usulan pembentukan negara baru Malaysia. Presiden Sukarno pernah menyatakan sikap konfrontasi terhadap proyek yang diprakarsai Inggris ini, yang bertujuan mempersatukan Malaya, Singapura, Serawak, Sabah dan Brunei. Namun demikian tampaknya ia tertarik oleh sebuah gagasan Filipina yang didukung pulah oleh Amerika Serikat, yakni MA-PHIL-INDO, suatu aliansi tiga Negara Malaysia, Filipina dan Indonesia, di mana Indonesia akan menerima keberadaan negara baru Malayasia. Seandainya gagas itu diterima, maka hal itu akan merupakan kemenangan kekuatan kanan di Indonesia, dan kekuatan itu mungkin sekali akan memperoleh jalan pula bagi dilaksanakannya kebijakan di bidang ekonomi.
Namun sekali lagi, seperti halnya pada tanggal 17 Oktober 1952, Presiden Sukarno mengambil kebutuhan penting yang menguntungkan golongan Kiri. Pada tanggal 15 dan Singapura. Beberapa hari kemudian IMF menegaskan bahwa paket pinjaman yang direncanakan, tidak akan diberikan kepada Indonesia.
Pada akhir September 1963 transisi dari Demokrasi Terpimpin Awal ke Demokrasi Terpimpin Akhir telah selesai. Selama dua tahun berikutnya proses kemerosotan ekonomi semakin lama semakin cepat. Agitasi anti-imperialis semakin lama semakin tinggi nadanya. Yang terpokok, masyarakat Indonesia semakin lama semakin dikuasai polarisasi kanan-kiri yang akhirnya mencapai puncaknya pada tanggal 1 Oktober 1965.

2. Sistem Ekonomi beserta Implementasi Kebijakan Ekonomi
Sampai saat ditetapkannya Dekrit Presiden, dapat dikatakan bahwa keadaan ekonomi Indonesia pada saat itu sangat suram, hal tersebut disebabkan oleh kekacauan politik pada masa demokrasi liberal sehingga masalah ekonomi tidak ditangani secara serius, ditambah lagi tindakan ekonomi salah urus terhadap perusahaan-perusahaan asing, sehingga menambah beban di bidang ekonomi, dan di perparah dengan adanya pemberontakan-pemberontakan daerah seperti PRRI-Permesta sehingga menghambat pendapatan negara.
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia.

Sistem Ekonomi Terpimpin
Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun mengikuti ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara serta menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut :
1) Devaluasi.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu pendevaluasian mata uang Rp 1.000,00 dan Rp 500,00 menjadi Rp 100,00 dan Rp 50,00. Mata uang pecahan Rp 100,00 ke bawah tidak didevaluasi. Tujuan dilakukan Devaluasi yaitu guna membendung inflasi yang tetap tinggi, dan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, serta agar dapat meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
Selain itu dibelakukannya pembekuan terhadap semua simpanan di bank yang melebihi jumlah Rp 25.000,00. Namun, tindakan itu tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi, sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno menyampaikan “Deklarasi Ekonomi” yang ternyata tidak berhasil juga. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
Devaluasi juga dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.


2) Pembentukan Front Nasional.
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai berikut :
Menyelesaikan Revolusi Nasional, melaksanakan pembangunan, dan mengembalikan Irian Barat.
3) Pembentukan Kabinet Kerja.
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut, mencukupi kebutuhan sandang pangan, menciptakan keamanan negara, dan berjuang mengembalikan Irian Barat.
4) Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas).
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang. Tugas Depernas : Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana dan Menilai Penyelenggaraan Pembangunan. Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depernas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.
Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Tugas Bappenas adalah menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan, menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS.
5) Deklarasi Ekonomi (Dekon)
Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor (export drive) mengalami kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor (SBE). Sulitnya memperoleh bantuan modal dan tenaga dari luar negeri sehingga pembangunan yang direncanakan guna meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat terlaksana dengan baik. Sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi secara menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan pokoknya.
Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum revolusi Indonesia. Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri diatas kaki sendiri. Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Dalam tahap pelaksanaannya, peraturan tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah inflasi, Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia, kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok, tampak dengan adanya kenaikan harga barang mencapai 400 % pada tahun 1961-1962, mengakibatkan beban hidup rakyat semakin berat.
Kegagalan Peraturan Pemerintah disebabkan karena tidak terwujudnya pinjaman dari International Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 400 juta, adanya masalah ekonomi yang muncul karena pemutusan hubungan dengan Singapura dan Malaysia dalam rangka Dwikora, politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.
6) Kenaikan laju inflasi
Latar Belakang meningkatnya laju inflasi yaitu penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan, nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan, anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar, pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada, upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil, penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh, penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran, diperparah dengan tindakan pemerintah yang menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.
Dampak yang ditimbulkan yaitu inflasi semakin bertambah tinggi, harga-harga semakin bertambah tinggi, kehidupan masyarakat semakin terjepit, Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekurangan neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa, ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa, pada tahun 1965 cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.
Kebijakan pemerintah dalam keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi. Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut, uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang rupiah baru, dan tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
7) Meningkatkan Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri.
Pemerintah membangkitkan ekonomi agraris atau pertanian, sebab kurang lebih 80% penduduk Indonesia hidup dari bidang pertanian. Hasil pertanian tersebut diekspor untuk memperoleh devisa yang selanjutnya digunakan untuk mengimpor berbagai bahan baku/ barang konsumsi yang belum dihasilkan di Indonesia.
Jika Indonesia tidak mampu memperoleh keuntungan maka akan mencari bantuan berupa kredit luar negeri guna memenuhi biaya import dan memenuhi kebutuhan masyarakat di dalam negeri. Sehingga Indonesia mampu memeprbesar komoditi ekspor, dari eksport tersebut maka akan digunakan untuk membayar utang luar negeri dan untuk kepentingan dalam negeri. Dengan bantuan kredit tersebut membuka jalan bagi perdagangan dari negara yang memberikan pinjaman kepada Indonesia.
8) Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP)
Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha perdagangan.
Selain itu diadakannya peleburan bank-bank Negara. Presiden berusaha mempersatukan semua bank negara ke dalam satu bank sentral sehingga didirikan Bank Tunggal Milik Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965. Tugas bank tersebut adalah sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilakukan peleburan bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaan masing-masing. Tindakan itu menimbulkan spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan uang negara sebab tidak ada lembaga pengawas.
Kegagalan pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena semua kegiatan ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi mengalami penurunan yang disertai dengan infasi, masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara politis, kemenangan politik diutamakan sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan (politik dikedepankan tanpa memperhatikan ekonomi). Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangana antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya. Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha. Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus. Kebangkrutan tidak dapat dikendalikan, masyarakat mengalami kesulitan hidup, kemiskinan, dan angka kriminalitas yang meningkat.
9) Konfrontasi Ekonomi dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat
Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut sebagai berikut :
A) Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan pembatalan utang-utang RI kepada Belanda.
B) Selama tahun 1957 dilakukan pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda, melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda, dan melarang penerbangan kapal-kapal Belanda, serta memboikot kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia.
C) Selama tahun 1958-1959 dilakukan nasionalisasi terhadap ± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, dan mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI dan Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman.

PARTAI POLITIK DAN MEDIA MASSA PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Surat Kabar Harian Rakyat
Surat Kabar Harian Rakyat
Masa demokrasi terpimpin, partai politik maupun organisasi politik tidak bisa lepas dari pers. Partai politik telah menggunakan pers dalam mendukung maupun menjadi oposisi dari pemerintahan yang berkuasa. Sistem kekuasaan masa demokrasi terpimpin juga mempengaruhi fungsi pers, yang lebih banyak bersifat sebagai corong kekuasaan pemerintah yang berkuasa, sehingga fungsi pers sebagai kontrol sosial tidak nampak bahkan hilang.[1]
Pers memiliki hubungan yang sangat erat dengan organisasi politik maupun partai politik dari pertamakalinya pers dikelola oleh para jurnalis Indonesia. Hubungan ini berkaitan dengan fungsi pers sebagai penyebar informasi dan alat propaganda yang efektif bagi partai politik dalam mengkampanyekan program serta tujuan partai tersebut. Masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin pers sangat berperan bagi kelangsungan kampanye partai politik, hampir setiap partai politik memiliki surat kabar baik yang terbit harian maupun mingguan serta bulanan. Surat kabar ini dikelola sama baiknya dengan surat kabar umum yang tidak berafiliasi dengan partai politik dan bahkan menjadi alat pemasukan dana bagi partai politik. Partai-partai politik yang memiliki surat kabar seperti PKI, Masyumi, PNI, NU dan lain sebagainya sangat gencar melakukan kampanye melalui media massa.
Surat Kabar Merdeka
Surat Kabar Merdeka
 1. Majalah Bintang Merah dan Harian Rakjat Sebagai Corong PKI
Partai politik yang sejak masa penjajahan Belanda sangat efektif menggunakan media massa dalam mengkampanyekan program politik dan pembangunan kader-kadernya adalah PKI. Hal ini dilakukan kembali oleh PKI setelah Indonesia merdeka melalui alat propaganda partai yaitu majalah Bintang Merah.
Majalah Bintang Merah pertamakali diterbitkan pada November 1945 oleh Mr. Moh Yusuf dan sempat dilarang terbit oleh pemerintah pada September 1948 akibat peristiwa Madiun. Pada tanggal 15 Agustus 1950 majalah Bintang Merah terbit kembali dan menjadi simbol bangkitnya kembali eksistensi PKI dalam perjuangan politiknya. Bertindak sebagai Sekretaris Redaksi adalah Peris Pardede yang pernah bekerja di sekretariat FDR sebagai tenaga teknis. Dewan Redaksi terdiri dari Aidit, Lukman, dan Nyoto. Majalah Bintang Merah di samping sebagai majalah teori, oleh Lukman dan Aidit juga digunakan untuk menghimpun orang yang sepaham dengan mereka berdua dan kemudian membentuk kelompok. Kelompok ini oleh Jacques Leclerc disebut “Kelompok Bintang Merah”. Sehubungan dengan terbentuknya kelompok ini Jacques Leclerc berpendapat bahwa:
“Kelompok yang berkumpul di sekitar Bintang Merah di Jakarta sudah cukup kuat dan cukup mendapat sokongan dengan bersandar pada kontak-kontak yang berkembang di seluruh negeri selama beberapa bulan, untuk dengan cepat menampilkan diri sebagai pimpinan dari seluruh partai…”[2]
Kelompok ini menamakan dirinya “Sekretariat CC PKI” yang berkedudukan di Jakarta. Tampilnya kelompok ini membuat anggota CC PKI bentukan Musso yang masih hidup seperti Tan Ling Djie, Alimin dan Wikana yang disebut golongan tua terusik.[3] Wikana berpendapat bahwa Aidit dan Lukman mengkudeta pimpinan partai. Wikana mengajukan pendapat supaya golongan tua yang disingkirkan Aidit membentuk Politbiro sendiri, tetapi pendapat tersebut ditolak oleh Alimin. Hal tersebut dikarenakan Alimin masih menghendaki persatuan di dalam tubuh partai.
Pada tanggal 7 Januari 1951 diumumkan bahwa sejak saat itu PKI mempunyai pimpinan harian yang terdiri dari lima orang yaitu Aidit, Alimin, Lukman, Nyoto dan Sudisman. Aidit dan Sudisman terpilih menjadi sekretaris Central Comite (CC) PKI. Pada bulan Oktober 1953, orang-orang Bintang Merah menguasai Sekretariat Jendral seluruhnya dengan menyingkirkan kelompok Tan Ling Djie.[4] Adanya kelompok muda di dalam Sekretariat Jendral memiliki pengaruh besar dalam menentukan garis politik PKI yang sesuai dengan pandangan kelompok muda tersebut.[5]
Pemerintah melalui Departemen Penerangan memberi ijin terhadap kembali terbitnya majalah Bintang Merah. Kembalinya PKI dengan corongnya Bintang Merah ke dalam pentas politik nasional merupakan perjuangan berat bagi Aidit dan tokoh muda lainnya. Terjadinya razia Agustus yang dilakukan oleh Kabinet Sukiman terhadap anggota-anggota PKI adalah salah satu upaya mematikan eksistensi PKI yaitu dengan menangkap beberapa tokoh PKI. Namun Aidit sendiri berhasil lolos dari usaha penangkapan politik tersebut. Adanya razia tersebut jelas menambah kesulitan terutama bagi kelompok Bintang Merah yang sedang berjuang membangun kembali partainya.
Pembangunan kembali partai yang dilakukan oleh PKI dengan usaha mendapatkan kembali legitimasi masyarakat, mengalami tentangan oleh Masyumi yang saat itu sedang berkuasa dengan Sukiman sebagai Perdana Menterinya. Penentangan terhadap kehadiran PKI kembali oleh Masyumi dikarenakan Masyumi merupakan pihak yang paling dirugikan oleh PKI dalam peristiwa Madiun. Selain itu, pada masa awal kembalinya PKI, setelah peristiwa Madiun tahun 1948, PKI menerapkan strategi yang sangat memojokkan Masyumi. Masyumi dan PSI dianggap sebagai partai kaum borjuis komprador. PKI jugalah yang merasa senang ketika Nahdatul Ulama memisahkan diri dari Masyumi sehingga memperlemah kekuatan Masyumi secara keseluruhan.[6] Mengenai peristiwa Madiun tahun 1948, Masyumi yang memiliki media massa untuk kepentingan politiknya yaitu harian Abadi dalam salah satu pemberitaannya menulis “pemberontakan kaum komunis PKI cs di Madiun dengan memproklamasikan negara komunis oleh Musso-Amir, sesuai dengan intruksi imperialis Rusia.[7]
Selain menerbitkan majalah Bintang Merah, untuk mendukung peran media partai yang sudah ada maka perlu ditopang surat kabar lain sebagai alat propaganda. Harian Rakjat, sebelum menjadi harian resmi milik PKI, telah ada sejak 1 Februari 1951 dan dibangun oleh Siauw Giok Tjan seorang peranakan Tionghoa yang garis politiknya cenderung ke PSI dan bukan merupakan anggota PKI, melainkan seorang jurnalis senior pendiri majalah Sunday Courier dan sebagai pendiri serta ketua BAPERKI.[8]
Nyoto,[9] mengambil alih pimpinan sekaligus sebagai penanggungjawab surat kabar Harian Rakjat dari Siauw Giok Tjan pada 31 Oktober 1953 dan meresmikannya menjadi surat kabar PKI. Harian Rakjat pada awalnya hanya terbit dua kali dalam seminggu. Setelah menjadi surat kabar resmi PKI surat kabar Harian Rakjat terbit setiap hari dan isi pemberitaannya berupa propaganda serta kampanye politik PKI, meskipun kebijakan pemberitaan sepenuhnya dikontrol Siauw Giok Tjan.
Harian Rakjat di tempatkan di bawah Depertemen Agitprop CC PKI. Oplah Harian Rakjat meningkat tiga kali lipat dalam kurun waktu Februari 1954, 15.000 eksemplar dan Januari 1956 menjadi 55.000 eksempalar.[10]Pada masa itu Harian Rakjat merupakan koran terbesar di antara media massa lainnya yang juga berafiliasi dengan partai politik.
Surat kabar Harian Rakjat selain memberi keuntungan dalam hal propaganda PKI dengan oplah yang sangat besar, surat kabar ini juga memberi keuntungan finansial bagi PKI. Sehingga PKI menjadi partai paling kaya dengan sumber dana selain dari oplah Harian Rakjat, juga dana yang diperoleh dari iuran anggota, gerakan-gerakan pemungutan dana dan sumber lainnya. Menurut Ricklefs sebagian besar uang PKI didapatkan dari komunitas pedagang Cina yang memberikannya secara sukarela maupun tekanan dari kedutaan besar Cina.[11]
Fungsi surat kabar Harian Rakjat agak berbeda dengan majalah Bintang Merah. Surat kabar Harian Rakjatditujukan bagi pembaca umum dan simpatisan serta anggota PKI dengan fungsi utama sebagai pedoman bagi semua anggota partai diseluruh penjuru negara mengenai sikap CC PKI terhadap isu-isu yang sedang berkembang, selain juga memuat berita-berita umum layaknya surat kabar lainnya, sedangkan majalah Bintang Merah ditujukan bagi anggota-anggota tetap PKI karena berisi teori, garis politik partai dan ideologi komunis.
Surat kabar Harian Rakjat memiliki semboyan “Tetap Teguh Dalam Pendirian dan Jangan Mencampuri Masalah”. Surat kabar Harian Rakjat gencar melakukan propaganda tentang masalah kerakyatan, persatuan, demokrasi dan masalah nasional. Pemberitaan yang utama adalah berita mengenai masalah buruh dan petani. Selain pemberitaan tentang masyarakat kecil, surat kabar ini tidak henti-hentinya secara rutin melaksanakan propaganda partai yang mengajak dan menganjurkan untuk hidup sederhana. Sedangkan untuk berita partai, berupa pemuatan biografi tokoh-tokoh komunis. Model pemberitaan ini oleh PKI sebagai tujuan meraih massa sebanyak-banyaknya.[12]
Surat kabar Harian Rakjat secara jelas membela kepentingan PKI melalui isi tajuk rencana, gambar karikatur dan pojok pers yang sering memojokkan lawan politiknya. Pemberitaan yang sangat terbuka dalam menyerang maupun mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah dan lawan-lawan politiknya, pada tahun 1957 surat kabar Harian Rakjat dilarang terbit selama satu minggu.[13]
Memasuki masa Demokrasi Terpimpin, surat kabar Harian Rakjat semakin gencar melancarkan isu-isu politik. Provokasi yang dilakukan Harian Rakjat juga diikuti oleh media massa yang juga simpatisan PKI, seperti Harian Bintang Timur dan Warta Bakti yang terbit di Jakarta, Trompet Masyarakat di Surabaya, Harian Harapan dan Gotong Royong terbitan Medan.[14] Gencarnya pemberitaan Harian Rakjat dalam megangkat isu-isu politik membuat munculya polemik dengan surat kabar Merdeka.
 2. Surat Kabar Merdeka
Kemunculan harian Merdeka tidak lama setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena didirikan pada tanggal 1 Oktober 1945. Surat kabar ini digunakan untuk menyiarkan kejadian yang sifatnya untuk mempertahankan kemerdekaan yang diperoleh, dengan motto “Suara Rakyat Republik Indonesia”.[15] Harian Merdeka merupakan media yang bersifat nasionalis dan independen yang tidak memihak kepentingan partai manapun yang dapat mengakomodasikan dan berkompromi dengan kepentingan pemerintah sehingga dapat survive lebih lama. Hal ini dikarenakan pada tahun 1959 B.M Diah selaku pemimpin redaksi diangkat menjadi duta besar RI untuk Cekoslovakia bersamaan dengan Adam Malik yang diangkat menjadi duta besar RI di Moscow, Uni Soviet.[16]
Pergolakan pada masa revolusi kemerdekaan sangat berpengaruh terhadap penerbitan Merdeka. Kedatangan tentara NICA yang menduduki Jakarta, membuat pusat pemerintahan pindah ke Yogjakarta, sehingga berdampak pada surat kabar Merdeka karena tempat mencetaknya yaitu Percetakan Negara juga diduduki NICA. Percetakan Negara yang disegel oleh pihak NICA membuat Merdeka tidak bisa diterbitkan. Situasi seperti ini membuat pimpinan Merdeka sejak awal 1946 menerbitkannya di Solo. Tidak jarang Merdeka berfungsi sebagai pamflet untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya lembaran Merdeka yang ditempel di pohon-pohon dengan tujuan agar bisa dibaca oleh orang-orang yang melintas, akan tetapi edisi Solo tidak berumur lama karena ketika terjadi agresi militer Belanda kedua, penerbitan surat kabar ini dihentikan.[17]
Untuk mengamankan aset-aset Merdeka, B.M Diah mengambil langkah dengan mendirikan NV Merdeka Press pada awal 1948. Dengan berbadan hukum juga membuka kesempatan untuk mengembangkan perusahaan agar lebih modern. NV Merdeka Press dibentuk oleh beberapa tenaga inti selain B.M Diah juga istrinya Herawati serta M.T Hutagalung. Pada tahun 1947 surat kabar Merdeka sudah memiliki 10 agen besar di Jakarta, 21  agen sejenisnya di Jawa dan luar Jawa, seperti Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Serang, Rangkasbitung, Tegal, Pekalongan, Madiun, Karawang, Purwokerto, Cirebon, Indramayu, Makasar, Kandangan, Samarinda, Balikpapan, Denpasar, Semarang, Palembang, Biliton, dan Alaibu. NV Merdeka Press juga menerbitkan majalah mingguan Merdeka, majalah Keluarga, dan Indonesian Observer. Majalah mingguan Merdeka mulai diterbitkan sejak 1948 untuk mengolah berita-berita yang menonjol dalam satu minggu yang dimuat di harian Merdeka. Uraian pada majalah mingguan berisi masalah-masalah yang terjadi dibalik berita harian.
 3. Harian Pedoman
Harian Pedoman didirikan oleh Rosihan Anwar dan Soedjatmoko pada 29 November 1948 di Jakarta, setelah sebelumnya mendirikan tabloid mingguan Siasat. Pada bulan September 1960 harian Pedomanyang dikenal sebagai media massa yang pemimpinnya condong ke PSI menulis sebuah tajuk rencana yang menyudutkan PKI dengan judul “18 September 1948, Pemberontakan PKI”.[18] Tentu saja PKI sebagai partai yang berusaha untuk bangkit dan kembali di tengah-tengah perpolitikan nasional merasa “geram” dengan tajuk rencana yang ditulis oleh Rosihan Anwar sebagai pemimpin redaksi Pedoman. PKI sendiri melalui sekretaris jendralnya, D.N. Aidit telah melakukan pembelaan dan mengembalikan kredibilitas PKI sejak tahun 1955 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
Penghinaan politik terhadap PKI yang dilakukan oleh harian Pedoman ditanggapi oleh PKI melalui Harian Rakjat yang diwakili oleh Soepeno dan Fransisca Fanggidaej. Sidang gugatan terhadap Rosihan Anwar di adakan di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta dengan Soepeno dan Fransisca Fanggidaej sebagai penggugat. Sidang gugatan ini diketuai oleh hakim Mr. Sutidjan dan Jaksa J. Naro pada tanggal 19 April-9 Mei 1961.[19] Gugatan tersebut dimentahkan oleh Jaksa J. Naro yang menilai tajuk rencana harian Pedoman yang ditulis oleh Rosihan Anwar tidak mengandung penghinaan secara objektif, sehingga pengadilan ini dimenangkan oleh Rosihan Anwar dan menjadi kekalahan PKI dan Harian Rakjat.
Kondisi Pers Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Perkembangan politik Indonesia sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terjadi perubahan dalam kehidupan berpolitik dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Situasi ini membuat politik menjadi panglima, Soekarno membentuk aliansi politik yang bertujuan untuk menggalang persatuan yaitu dengan menggalang kekuatan dari Nasionalis, Agama, dan Komunis yeng kemudian dikenal dengan Nasakom.
Kemunculan Manifesto Politik (Manipol) yang kemudian dikenal dengan Manipol USDEK yang diperkenalkan oleh Soekarno sebagai dasar adanya Demokrasi Terpimpin dan kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara membuat semakin rumitnya persoalan bagi media massa. Dalam Manipol disebutkan adanya retooling lembaga-lembaga dan organisasi bangsa demi jalannya revolusi. Tugas retooling yang dibebankan kepada Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh Nasution ini juga mengontrol bidang kebudayaan dan bidang pers.[20]
Pada tahun 1960 merupakan awal mulai penerapan Manipolisasi media massa sebagai usaha untuk menyeragamkan pemberitaan yang mendukung kebijaksanaan pemerintah. Tindakan yang dilakukan pertama kali oleh pemerintah adalah mengeluarkan peringatan yang dilakukan oleh Menteri Muda Penerangan R. Maladi yang menyatakan bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat-surat kabar, majalah-majalah, dan kantor berita yang tidak mentaati peraturan-peraturan yang diperlukan dalam usaha penerbiatan pers nasional. Apabila surat-surat kabar tidak ingin kehilangan subsidi dan izin pembelian kertas, mereka harus memberikan sumbangan pada usaha-usaha pelaksanaan Manifesto Politik dari Presiden serta prinsip-prinsip kepada Undang-Undang Dasar 1945”.[21]
Menurut Edward C Smith bahwa dari sisi eksistensi media adanya perlakuan tersebut sebagai bentuk tindakan yang anti pers. Adanya kompleksitas masalah sistem kenegaraan antara Demokrasi Terpimpin dengan ideologi Manipol USDEK, jargon-jargon politik sebagai sumber berita yang wajib disajikan dalam halaman depan oleh tiap media massa tentunya mengancam kebebasan pers. Ditambah dengan adanya keberpihakan banyak media massa terhadap ideologi tertentu, membuat kualitas pemberitaan menjadi turun. Adanya ancaman pencabutan subsidi kertas koran, pencabutan Surat Ijin Terbit mengakibatkan sebuah media massa tidak dapat melaksanakan fungsi jurnalismenya sebagai kontrol sosial dengan baik dan konsisten.[22]
Penekanan terhadap kebebasan pers tersebut berdasarkan peraturan Peperti No 10/1960. Peraturan Peperti No 10/1960 yang dikeluarkan pada tanggal 12 Oktober 1960 mewajibkan bagi para penerbit media massa untuk mendaftarkan kembali medianya kepada pemerintah melalui Peperti.[23] Pada dasarnya peraturan tersebut membuat seluruh media massa harus memberitakan tentang semangat revolusi pada masa Demokrasi Terpimpin yang didasarkan pada Manipol USDEK.[24] Apabila pers melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah harus selalu sejalan dengan Manipol. Situasi Masa Demokrasi Terpimpin merupakan masa sulit bagi media di Indonesia, hal ini dikarenakan adanya penerapan kebijakan yang ketat. Akibatnya perkembangan media menjadi terhambat dan rendahnya kualitas jurnalistik di Indonesia. Pers kemudian menjadi terkotak-kotak dan terpolarisasi pada partai politik, sehingga terjadi penekanan pada pembenaran ideologi. Tentu saja hal tersebut membuat media massa yang beraliran independen dan kritis berada dalam posisi sulit. Seperti nasib yang dialami Koran Indonesia Raya yang dilarang terbit dan pmpinan redaksinya Mochtar Lubis ditahan.[25]
Sikap represif pemerintah tidak hanya menimpa penerbit pers, perusahaan percetakan juga mengalami nasib yang sama. Pada tanggal 1 Maret 1961 dikeluarkannya peraturan yang menetapkan semua percetakan yang dimiliki perseorangan atau swasta harus dibawah pengawasan pemerintah dengan membentuk Badan Pengawas dan Pembinaan yang bertujuan untuk mengelola serta mengawasi semua percetakan. Unsur-unsur dari badan pengawas tersebut terdiri dari Angkatan Darat, Kepolisian, Penerangan dan Kejaksaan.[26]
Pada tanggal 7 Januari 1961 akibat dari pembubaran PSI dan Masyumi maka dilakukan pembredelan terhadap Harian Pedoman yang pemimpinnya adalah Rosihan Anwar yang pro kepada PSI. Sementara Harian Abadi yang merupakan alat perjuangan Masyumi juga mengundurkan diri. Harian Abadi secara sukarela mengundurkan diri sebelum dibredel oleh pemerintah.[27] Mundurnya harian Abadi selain dikarenakan dibubarkannya Masyumi sebagai partai induknya juga karena masalah penandatanganan 19 butir kesepakatan media massa yang dikeluarkan oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti).
Saat Presiden Soekarno melancarkan kampanye Manipol, pers sendiri tidak berdaya karena tidak dilengkapi dengan undang-undang pers yang melindungi fungsi, tugas, kewajiban dan hak pers. Pers pada tahun tersebut hanya diatur dengan Ketetapan Presiden nomor 6/1963 dimana peraturan tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip yang berhubungan dengan bentuk, tujuan dan pelaksanaan pembinaan pers agar sejalan dengan Manipol dalam usahanya mewujudkan Demokrasi Terpimpin.[28] Dapat disimpulkan bahwa ketetapan Presiden nomor 6/1963 selain berguna untuk mengekang kebebasan pers juga diharapkan agar pers pada masa itu membantu menciptakan suasana yang tetap kondusif dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Pengekangan terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dengan tidak dikeluarkannnya UU pers, tetapi juga berusaha menghidupkan kembali Undang-undang pers pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu juga banyak dimunculkan peraturan-peraturan, pemberitahuan, ketentuan-ketentuan, dan berbagai macam bentuk pernyataan-pernyatan dari pemerintah yang berfungsi untuk mengingatkan pers. Dengan banyaknya peraturan-peraturan yang menyudutkan posisi pers sehingga menyebabkan pemerintah dapat dengan sangat mudah melakukan pembredelan pers. Seluruh media masa yang sifatnya oposisi akan sangat mudah dijinakkan dan diberangus.
Kebijakan politik yang ditempuh oleh Demokrasi Terpimpin pada masa itu membuat perkembangan dunia pers nasional tidak stabil. Dampak nyata dari hal tersebut terbukti pada tahun 1961, lebih dari 800 orang wartawan ataupun mereka yang menggeluti dunia pers harus merelakan pekerjaan mereka hilang karena ditutupnnya perusahaan tempat mereka bekerja.[29] Tahun 1962 terdapat 70 penerbit pers di Indonesia, padahal pada tahun 1960 tercatat penerbit pers sebanyak 97 buah penerbit. Tahun 1960-1962 menjadi tahun buruk dalam perkembangan pers Nasional. Perkembangan pers pada tahun 1963 berbanding terbalik dengan tahun sebelumnya. Dilaporkan pada tahun tersebut tercatat sebanyak 105 penerbit surat kabar terdapat di Indonesia dengan oplah sebesar 1.304.000.
Pasang surutnya perkembangan surat kabar di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang otoriter. Kebebasan pers Indonesia semakin terkekang pada tahun 1963 dengan dibentuknya suatu badan pengawas pers yang berada di bawah wewenang Departemen Penerangan. Pembentukan badan pengawasan ini bertujuan untuk mempermudah pengawasan dan pengontrolan fungsi pers agar tetap berada dalam jalur politik nasional. Pers juga diharapkan dapat menjadi juru bicara resmi pemerintah, dan secara tidak langsung pemerintah berupaya untuk melenyapkan cita-cita terbentuknya pers yang independen dan kritis.
 Tabel . Surat Kabar yang dibreidel oleh Pemerintah pada Masa Demokrasi Terpimpin.
No.
Nama Surat Kabar
Kota Terbit
1
Suara MalukuAmbon
2
Masjarakat BaruSamarinda
3
Berita MingguJakarta
4
Bintang MingguJakarta
5
Suara AndalasMedan
6
Suara IslamMaluku
7
Indonesia RayaJakarta
8
Tjahaja IslamPontianak
9
PeneranganPadang
10
KengpoJakarta
11
Utusan BantenSerang
12
TegasKutaraja
13
BaraMakasar
14
PedomanJakarta
15
Sin PoJakarta
16
PembanguanPalembang
17
PemudaJakarta
18
Times of IndonesiaJakarta
Kebijakan-kebijakan otoriter Demokrasi Terpimpin terhadap bidang pers benar-benar mematikan kreativitas para wartawan dan pimpinan surat kabar yang kritis dan idealis. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya harus berurusan dengan penegak hukum karena keberanian tulisan mereka dalam mengkritik pemerintah. Kebanyakan kasus penangkapan-penangkapan terhadap wartawan pada tahun 1963 tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku. Wartawan dan pemimpin surat kabar yang ditangkap pada masa itu dikenakan tuduhan sebagai penghasut, melakukan permusuhan dan penghinaan kepada penguasa. Landasan dari tuduhan tersebut adalah pasal Hatzaai Artikelen, yang merupakan hukum warisan Belanda semasa menjajah Indonesia. Pada jaman Kolononial pasal ini digunakan untuk menangkap para pejuang kemerdekaan.
Penggunaan Hatzai Artikeelen oleh Soekarno, bertujuan untuk menjaga status quo pemerintah dari serangan-serangan pihak oposisi yang dimungkinkan menggunakan media massa sebagai sarananya. Langkah Soekarno dalam penerapan pasal-pasal tersebut yaitu dengan jalan menangkap para pengritiknya yang menuangkan aspirasi mereka dalam bentuk tulisan ternyata sangat efektif. Dalam perkembangannya untuk semakin memperkuat tekanannya kepada pers, pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor 11/PNPS/1963 yang intinya tentang pemberantasan kegiatan subversi. Pasal-pasal dalam Undang-undang tersebut, merupakan sebuah tameng pemerintah dari segala ancaman dan serangan apapun yang dikhawatirkan dapat meruntuhkan kewibawaan pemerintah di mata rakyatnya.
Hatzai Artikeelen dan UU nomor 11/PNPS/1963 tidak dilepaskan dari kepentingan politik. Kedua produk hukum tersebut tidak ditetapkan melalui proses legislatif, melainkan murni kehendak penguasa dengan alasan ketertiban umum dan stabilitas politik. Penguasa yang begitu represif, menyebabkan para pengelola surat kabar tidak dapat mengekspresikan tulisannnya. Kenyataan yang terjadi adalah perasan takut dan khawatir dialami oleh para wartawan dan pihak percetakan karena dianggap sebagai “teroris politik”.
Kondisi pers yang diterapkan Soekarno sangat jauh dari konsep pers idealis yaitu sebagai mediator negara dengan rakyatnya sekaligus menjadi intuisi yang mengontrol antara hubungan rakyat dengan Negara, didasarkan pada sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang segalanya berada di bawah kekuasaan seorang Presiden. Wina Armada menuliskan bahwa kebebasan pers adalah kebebasan berekspresi untuk mengungkapkan pendapat yang mempunyai posisi dan fungsi yang penting serta dihargai sepenuhnya.Kenyataanya, kondisi pers pada masa Demokrasi Terpimpin berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Berbagai macam tekanan yang dilakukan pihak pemerintah kepada insan pers semakin mempersempit ruang gerak mereka dalam mewujudkan kebebasan pers. Wartawan dan pimpinan redaksi pers pada masa itu harus bersifat pro dengan pemerintah kalau ingin tetap mempunyai pekerjaan. Kebebasan pers pada waktu Demokrasi Terpimpin adalah sesuatu yang tidak mungkin, dikarenakan sama sekali tidak didukung oleh kondisi politik yang kondusif melainkan harus menghadapi politik tangan besi Soekarno yang menjadikan dirinya sebagai penguasa otoriter.
Perbedaan pandangan antara pers dan penguasa dalam melihat sesuatu dapat menjadi masalah karena keduanya mempunyai paradigma sendiri-sendiri. Pemerintah memandang kegiatan pers dianggap bisa mengganggu stabilitas politik dan penerapan kebijakan pemerintah. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran etika politik dan dengan alasan pelanggaran etika politik itulah Soekarno melakukan pemberedelan pers yang oleh Soekarno seniri kebijakan tersebut diambil karena sebuah keterpaksaan. Jika dicermati lebih lanjut, kebijakan Soekarno dalam mekakukan pemberedelan pers hanya untuk kepentingan politik otoriter semata tanpa pernah mempertimbangkan nilai moral dan etika.
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebenarnya pernah mengusulkan kepada Soekarno untuk terlebih dahulu membicarakan keputusannya bila akan melakukan pemberedelan pers. Usulan PWI tersebut pada akhirnya hanya menjadi sebuah usulan saja, karena ketidakmampuan mereka melawan penguasa yang sudah sedemikian kuat. PWI sendiri sebenarnya sudah tidak mampu untuk bersikap mandiri, terbukti dengan pendaftaran organisasi ini menjadi bagian dari Front Nasional, padahal PWI bukanlah organisasi massa. Menariknya, PWI tetap diterima menjadi anggota Front Nasional dngan pertimbangan PWI mempunyai pengaruh yang besar dalam hal menggerakan massa. Sebagai konsekuensinya, PWI harus menyesuaikan diri dengan politik Nasakom yang sudah menjadi ideologi negara. Masuknya PWI kedalam Front Nasional menjadi bukti kongkrit bahwa adanya Nasakomisasi dalam tubuh pers.Pers yang bisa menerima Nasakomisasi Soekarno dibiarkan tetap hidup dan sekaligus dijadikan alat untuk menyuarakan kepentingan politik suatu partai tertentu. Akibatnya, pers secara terang-terangan membela kepentingan kelompoknya sehingga agresifitas pers tergantung dari sikap partai politik yang berada dibelakangnya.
Situasi pers yang demikian dapat dimanfaatkan dengan optimal oleh PKI melalui surat kabar yang mendukungnya Harian Rakjat. Harian tersebut menjadi alat propaganda utama PKI dalam melancarkan agitasi politiknya. Sebagai contoh, PKI dengan gencar menyebarluaskan istilah “Tujuh Setan Desa” melalui harian ini. Populernya istilah Tujuh Setan Desa tersebut secara otomatis menjadikan terhasutnya rakyat dipedesaan untuk melakukan Ofensif Revolusioner di daerah pedesaan. Akibatnya, situasi dan suhu politik semakin memanas karena dilain pihak PNI yang notabene adalah saingan PKI juga didukung oleh harian Merdeka.
Lahirnya Manifesto Kebudayaan
Polemik tidak hanya terjadi dalam masalah politik saja, hal serupa juga terjadi dalam bidang kebudayaan. Polemik kebudayaan yang dilakukan oleh Lekra dan Manifesto Kebudayaan dilancarkan melalui tulisan-tulisan dalam media massa. Tulisan-tulisan di media massa yang dilakukan oleh kedua kelompok tersebut tidak hanya mencerminkan semangat ideologi yang mereka anut, tetapi juga sebagai agitasi kepada para pembaca surat kabar mengenai revolusi dalam bidang kebudayaan.
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah salah satu lembaga yang mempunyai peranan yang dominan dalam hal kebudayaan. Lekra sendiri adalah organisasi bentukan PKI yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta dan mendirikan berbagai cabangnya di dua puluh kota di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Lekra mengetengahkan konsep perjuangan kulturalnya yang komunistis dan tercermin dalam mukadimah dan konsepsi kebudayaan rakyat, dengan konsep “Seni untuk Rakyat” dan “Politik adalah Panglima”. Lekra juga mendukung Konsepsi Presiden yang bertujuan memperbaiki situasi keadaan pemerintahan pada tanggal 4 Maret 1957. Lekra juga membidani lahirnya Lembaga Panitia Aksi Penggayangan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Dalam perkembangan selanjutnya, Lekra tidak hanya menolak film-film impor dari negara-negara barat namun mereka juga menyerang film-film karya Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Kritik terhadap film Indonesia dimunculkan oleh surat kabar Bintang Timur. Film yang dikritik adalah film Badai Selatan yang dipilih ikut dalam festival film Berlin. Film produksi Ibukota Film ini dibintangi oleh WD Mochtar, Sukarno M. Noor, dan Sofia Waldy dianggap kurang memenuhi kriteria. Menurut surat kabar Bintang Timur, film tersebut kurang memenuhi kriteria menyangkut kepribadian nasional yang patriotik dan persahabatan antar bangsa.
Timbulnya polemik antara kedua organisasi kebudayaan tersebut juga membuka pelung adanya konflik pers bagi pendukungnya masing-masing. Lekra dan PAPFIAS yang didukung oleh surat kabar. Harian Rakjat, Bintang Timur, Warta Bakti, dan Suluh Indonesia menghadapi Manifesto Kebudayaan yang didukung oleh surat kabar Merdeka, Sinar Harapan, dan Berita Indonesia.
Para seniman, sastrawan dan cendikiawan nonkomunis pada 7 Agustus 1963 mencetuskan ‘Manifesto Kebudayaan’ (Manikebu) dalam usaha membendung gerakan kebudayaan Lekra. Manikebu terdiri dari tiga bagian yaitu Manifesto Kebudayaan, Penjelasan Manifesto Kebudayaan, dan Literatur Pancasila. Manikebu membela kebebasan intelektual yang kretif, politik tidak boleh menjadi panglima yang menguasai segala bidang, mereka membela nilai-nilai kemanusiaan universal yang diinjak-injak kaum totaliter. Para konseptor Manifesto Kebudayaan berpendirian bahwa prinsip dan sikap kebudayaan yang betul pada waktu itu adalah non-commitment dari pengaruh politik maupun militer.
Naskah manifesto kebudayaan pertamakali dipublikasikan lewat surat kabar Berita Republik dalam ruang ‘Forum’ Sastra dan Budaya No. 1 Th. I, 19 Oktober 1963 dan majalah Sastra No. 9/10, Th. III, 1963. Naskah Manifesto Kebudayaan tersebuat adalah sebagai berikut:
“Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Mnifestasi Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nsional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan diatas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan sungguh-sungguh yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankandan mengembangkan martabat diri kami sebagai Bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.Pancasila adalah falsafrah kebudayaan kami.
Kemunculan Manifesto Kebudayaan ditentang oleh Lekra dengan tokoh utamanya Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. Lekra bersikap menolak segala bentuk kebudayaan barat karena dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan nasional dan dianggap kontra revolusioner. Polemik kebudayaan antara anggota Lekra dan Manikebu terjadi di berbagai forum tidak hanya di kongres-kongres kebudayaan tetapi juga melalui media massa, dan seminar-seminar kebudayaan. Sebelum Manikebu dicetuskan dan dibentuk pokok persoalan utama dari polemik kebudayaan antara anggota Lekra dan non anggota Lekra yang akhirnya mendirikan Manikebu adalah masalah peran kebudayaan dalam menyukseskan revolusi, Nasakom, Manipol dan USDEK. Seperti ceramah Pramoedya Ananta Toer mengenai Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia di Universitas Indonesia dalam Seminar Kesusastraan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang mengatakan bahwa realisme sosialis adalah pratek sosialisme di bidang kreasi sastra, humanismenya adalah humanisme proletar sebagai lawan dari humanisme universal milik barat. Sedangkan kelompok Manikebu menolak realisme sosialis, karena menganggap realisme sosialis sektaris mengenai kritik seni, jiwa objektif yang berpangkal pada budi nurani universal dianggap tidak selaras dengan realisme sosialis dan dalam realisme sosialis paham politik di atas estetik.
Perdebatan mengenai peran seni dan kebudayaan dalam revolusi antara kelompok Lekra dan Manikebu menimbulkan gesekan yang keras, kelompok Lekra menganggap Manikebu sebagai kelompok yang kontra revolusioner dengan alasan anti dan memusuhi Nasakom, segan menggunakan kata dan konsepsi revolusioner dan rakyat, mengaburkan lawan dengan kawan, merupakan reaksi atas gagasan Ganefo, mengumandangkan freedom to be free hendak menandingi Manipol, dan hipokrit.Penentangan terhadap Manikebu ini juga didukung oleh Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) sebuah front cendikiawan Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Sitor Situmorang.
Tuduhan terhadap Manikebu ini disangkal keras oleh Tim Riset Manifes Kebudayaan yang dalam laporannya mengatakan bahwa apa yang dituduhkan oleh Manifes-phobi kepada kelompok Manikebu merupakan kekurangmatangan dalam ideologi. Menurut Manikebu bahwa gerakan Manikebu adalah berdasarkan Pancasila yang menjadi falsafah kebudayaan, sehingga sangat aneh bila dianggap memusuhi Nasakom,.selain itu penggunaan kata rakyat, revolusioner banyak terdapat dalam tulisan-tulisan Manikebu sehingga tuduhan kelompok Lekra mengada-ada. Sedangkan masalah pemisahan batas antara kawan dan lawan memang dilakukan secara tegas tetapi tidak bermaksud bersifat sektaris dan chauvinis. Manikebu juga menjelaskan bahwa pengumandangan freedom to be free dalam kebudayaan adalah perlu karena setiap daya kreatif yang bebas adalah revolusioner.
Walaupun telah menjelaskan secara panjang lebar baik melalui forum-forum seminar dan media massa mengenai gerakan Manikebu akan tetapai Manifesto Kebudayaan tetap diserang habis-habisan oleh kelompok PKI dan underbownya, PKI mengerahkan massa untuk berdemonstrasi menentang dan aksi membubarkan Manikebu, Majalah Bintang Timur, surat kabar Harian Rakjat dan Sulindo terus menyindir tentang keberadaan Manifesto Kebudayaan. Pada 8 Mei 1964 Manifesto Kebudayaan akhirnya dilarang oleh Presiden Soekarno. Hal ini dikarenakan telah adanya Manifesto Politik sebagai Pancasila telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin didampingi manifesto lainnya termasuk Manifesto Kebudayaan. Larangan terhadap Manifesto Kebudayaan mendapat dukungan luas terutama dari PKI dan ormas-ormasnya.